Jangan Salahkan Hati yang Kadang Masih Membenci, Sebab Ikhlas pun, Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan

Maafkan hati yang belum benar-benar bisa berdamai. Maafkan, jika rasa benci, iri, dan rasa yang tak seharusnya hadir itu kembali menyelimuti. Kamu tahu, hati ini sudah begitu bekerja keras, pikiran sudah berusaha lupa dan sibuk sendiri. Langkah sudah berubah haluan untuk membuka lembaran baru. Namun, saat kepala tak sengaja menengok ke belakang, saat bagaimana ingatan muncul kembali dalam memori dan saat sendiri membuat rasa sepi. 

Ternyata ikhlas itu benar-benar tak mudah. Ikhlas itu begitu sulit, memaafkan hati dari rasa benci itu melelahkan. Jadi, biarkan saja. Biarkan rasa benci itu terkadang hadir. Biarkan saja, itu menjadi lecutan pengingat agar menjadi seseorang yang lebih baik. Biarkan saja. Jangan memaksa dan jangan meminta. 

Maaf Itu Mudah Terucapkan, Tapi Gelas Yang Terlanjur Pecah, Selamanya Tak Akan Bisa Utuh Lagi


Jika kamu bertanya, apakah aku sudah memaafkanmu? Maka, aku akan menjawabnya 'Iya'. Iya, aku sudah memaafkannya, iya, semua hanya tinggal masa lalu. Iya, tak apa-apa, sebab manusia memang sering salah dan khilaf. 

Namun, ketika kamu bertanya apakah aku sudah lupa akan rasa sakitnya? Jawabannya adalah tidak. 

Sebab, memang jadi faktanya, melupakan tak semudah memberikan maaf. Tetap, ada rasa sakit saat mengingat apa yang terjadi di masa lalu. Tetap, ada luka dan kecewa, yang akhirnya membuat waspada dan trauma. Tetap, ada rasa tak percaya lagi kepadamu, jika harus memberikan rasa yang sama. 

Nyatanya, gelas itu, hati ini, untuk selamanya tak akan pernah utuh lagi. Sakit itu terlalu parah, luka itu terlalu luar biasa. 

Bahkan, Saat Allah Sudah Begitu Baik Dengan Memberikan Banyak Cinta Dan Kebahagiaan. Juga, Penyembuh Hati Dari Luka. Entah Kenapa Rasa Sakitnya Masih Ada, Bencinya Pun Muncul Kembali Tanpa Diingini 


Hal yang paling disyukuri dari hidup ini adalah pertolongan Allah selalu hadir di waktu yang begitu tepat. Saat, hidup hampir saja terpuruk, pikiran sudah tak bisa lagi menentukan benar atau salah. Semua rencana dan angan hanya bisa menjadi kenangan yang menyakitkan. 

Penyembuh itu hadir. Seseorang dengan rasa cinta yang lebih baik datang dan menyembuhkan setiap luka. Seseorang yang mampu membuat senyum dan semangat itu terbit kembali. Seseorang yang ternyata akhir dari pencarian, belahan jiwa yang selama ini dinantikan. Dia hadir dengan cintanya dan bersamanya pula, membuka lembaran baru yang dulu sempat aku harapkan hadir dari dirimu. 

Namun sayangnya, sembuh itu tak berarti lupa. Sembuh itu lebih ke menolong hati yang hampir saja putus asa, sembuh itu hadir dengan memberikam mimpi-mimpi baru, kenangan indah baru, kesempatan baru yang lebih baik. Sembuh itu, ternyata belum mampu membuat rasa benci itu benar-benar hilang dalam sisi hati yang lainnya. 

Sehingga, Saat Sadar Bahwa Ikhlas Itu Tak Mudah. Banyak Proses Yang Harus Di Lewati. Seakan Lebih Baik Untuk Tak Saling Mengenal Kembali. Hiduplah Bahagia Dengan Caramu, Dan Biarkan Pula Aku Bahagia Dengan Hidupku 


Kita hidup sendiri-sendiri saja. Cukup sekali saja dalam suatu waktu kita bertemu dan bersama. Tak perlu lagi, menyibukkan diri dengan meminta maaf atau meminta kesempatan kedua. Karena sungguh, aku sudah memaafkanmu. Hanya saja, tak akan lagi kesempatan yang tersisa. 

Ikhlas itu sulit, butuh waktu yang panjang, tergantung dari tingkat luka yang di dapatkan. Semakin parah lukanya, semakin sulit pula ikhlasnya. Sehingga lebih baik untuk kamu dan diriku hidup dalam lembaran masing-masing. Bahagialah dengan caramu, tanpa mengusik hidupku. Begitupun, aku dengan caraku. 

Dan Maklumi Saat Benci Itu Kadang Masih Hadir. Sebab Ternyata Ikhlas Itu Tak Semudah Bicaranya. Tak Semudah Meminta Maafnya, Tak Semudah Saat Sakitnya Juga Teramat Dalam 


Maklumi saja, jangan terlalu diambil hati. Sebab kuakui hati ini masih membencimu hingga kini. Hati ini belum mampu berdamai dengan luka dari masa lalu. 

Entah kapan pula berakhirnya, sebab aku sendiri juga sering tersiksa dengan keadaan ini. Jika boleh, jika bisa, lebih baik dulu kita tak pernah bertemu, daripada di seumur hidupku menyimpan kebencian itu. 

Meski, aku sudah mampu mengalihkan kebencian itu sebagai pelajaran dan pengingat diri. Meski, aku sudah mampu menjadi lebih baik dan tenang daripada sebelumnya. Meski, aku sudah menemukan kebahagiaan dan mensyukuri hidup. 

Ikhlas, Ya, aku sudah ikhlas, menurutku. Namun ternyata, di bilik hati terdalam, aku masih membencimu. 


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments